A.
KH. ABDUL DJALIL
|
Setelah dirasa cukup Ilmunya, beliau mengajar di
rumahnya sendiri, di samping itu juga beliau mengadakan pengajian umum untuk
masyarakat Desa Segeran. Hingga pada ahirnya terdengar oleh KH.Abdul qodir,
karena merasa penasaran KH.Abdul Qodir mengecek kebenaran tersebut, setelah
ditemui ternyata apa yang diajarkan beliau memang benar. sehingga diangkatlah
beliau menjadi menantu KH.Abdul Qodir
sebagai suami dari Siti Chodijah anak ke lima dari delapan bersaudara.
Apabila memberikan pelajaran beliau terkenal
sangat disiplin, baik yang datang banyak atau sedikit, bahkan tidak ada yang
datang sekalipun beliau tetap datang pada mejanya, kemudian kitabnya dibuka dan
dibaca sendiri sambil muthola’ah.
Seperti yang telah di sebutkan sosok KH. Abdul
Djalil dengan sifat tekun dan teladan hingga semua kitabnya terdapat apsahan
atau ma’na gandulnya, selembarpun tiada yang kosong. Adalah cerita unik terjadi
ketika anaknya yang kelima yakni Kiai Bajari mondok di Jombang. Suatu ketika
Kiai Bazari meminta dibelikan Tafsir Jalallain (tafsir Al-Quran) kepada KH. Abdul Djalil namun beliau malah menyuruh
Kiai Bazari untuk menyalin dengan tulisan tangan.
Setelah KH. Abdul Djalil menikah dengan Hj. Siti
Chodijah beliau dikaruniai sepuluh buah hati, yaitu :
1.
Hj. ‘Ammah
2.
KH. Djaruki
3.
KH. Syambasi
4.
KH. Mudlofar
5.
Kiai Bazari
6.
Hj. Nayiroh
7.
Hj. Zaenab
8.
H. Drs. Ilyas Susila, MM
9.
H. Abas Assafah, M.Si
10.
Hujer S.Pd.I
Beliau wafat tahun 1974M atau 1265H tiga
Dzulhijah sekitar umur 80 Tahun. Beliau adalah sosok suri tauladan yang
mendidik santri dan masyarakat sekitarnya, beliaulah cikal bakal perintis
berdirinya Pondok Pesantren Miftahul
Huda Segeran Kidul Juntinyuat Indramayu.
Demikian riwayat singkat KH. Abdul djalil, semoga
dapat menjadi i’tibar bagi kita semua., Amin.
B.
KH. DJARUKI
|
Bukan hanya mengajar ngaji para santri-santrinya
melainkan beliau juga membuka pengajian dari musholah (tajug) ke musholah
lainnya, dari masjid satu ke masjid lainnya, dari satu desa ke desa lainnya.
Dengan sabar dan penuh rasa ikhlas, beliau
membimbing santri-santrinya sampai berhasil, baik yang berasal dari Desa
Segeran maupun mereka yang berasal dari
luar Desa Segeran, yang mana saat ini telah banyak yang menjadi penuntun (tokoh
masyarakat / kyai) di daerahnya masing-masing.
Mengingat santri yang berdatangan semakin banyak,
maka pada tahun 1996. an beliau menambah asrama menjadi dua bangunan, yang
nantinya disebut dengan tajug kidul. Pekerjaan tersebut dapat terselesaikan
dalam kurun waktu hanya beberapa minggu, dengan dana swadaya murni juga bantuan
dari pihak luar. Hal ini juga disebabkan adanya kesemangatan serta kesadaran
para santri yang mengikuti roan (kerjasama) yang dibantu oleh masyarakat
setempat.
Riwayat pendidikan beliau dimulai dari belajar
kepada ayah beliau yakni KH. Abdul Djalil, kemudian beliau meneruskan ke
Pesantren Babakan Cirebon kemudian setelah itu beliau meneruskan ke Pesantren
Tambak beras yang ahirnya dilanjutkan ke Malang Jawa Timur.
Beliau menikah dengan Hj. Romlah putri dari kiai ternama asal Kertasemaya
Indramayu, beliau dikaruniai lima orang anak, yakni :
1.
Drs. Ahmad Fauzan, M.Pdi
2.
Faizin, S.ag
3.
Iis
4.
Ninis
5.
Nung
Sosok beliau dikenal sebagai ulama yang tegas,
keras dan lugas namun memiliki rasa kasih sayang yang begitu besar, beliau juga
sering menyerukan perihal silaturrohmi terhadap sesama muslim, lebih-lebih
terhadap keluarga besar sendiri, karena dinilai silaturohmi adalah perbuatan
yang banyak manfaat bagi kehidupan.
Cerita unik terjadi antara beliau dan putra dari
adiknya KH. Abas Assfah yang pertama yakni Taufik Zaenal Mustofa yang suatu
kecil terkenal pemalu dan enggan berkumpul dan bersilaturrohmi sesama keluarga,
beliau kemudian disela-sela kegiatan yang diadakan Yayasan pada saat itu,
secara kusus memanggil Taufik Zaenal Mustofa dan memberinya nasihat kepadanya.
“menjadi anak muda itu harus tahu tata kerama,
jika bertemu dengan orang yang lebih tua seharusnya menghampirinya dan
mushohafah (bersalaman mencium tangan) jangan malah ngumpet” tegurnya. Tak
hanya itu beliau juga melanjutkan nasehatnya agar tidak lupa menjalin
silaturahmi, seraya menunjukkan fadilah silaturrahmi diantaranya :
حِمَهُ رَ فَ لْ أَثَرِهِ فِي لَهُ وَيُنْسَأَ رِزْقِهِ فِي لَهُ يُبْسَطَ أَنْ أَحَبَّ مَنْ
“Barangsiapa yang ingin
dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia
menyambung silaturrahmi.” (HR.
Al-Bukhari).
Demikian riwayat singkat KH. Djaruki, semoga
dapat menjadi i’tibar bagi kita semua., Amin.
C.
KIAI BAZARI
Kiai Bazari adalah anak ke lima dari pasangan KH.
Abdul Djalil dengan Hj. Siti Chodijah beliau lahir pada tanggal 10 bulan
Oktober tahun 1945 tepat dua bulan setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.
Awalnya Kiai Bazari hanya belajar ngaji dari
ayahnya dan kyai desa lainnya, kemudian beliau melanjutkan ke Jombang tahun
1963 menyusul dua saudaranya yakni KH.Syambasi dan KH. Mudlofar yang lebih dulu
mondok. menuntut ilmu selama tiga tahun
di Jombang beliau melanjutkan pesantren di Sarang Rembang yang diasuh oleh KH.
Maimun Zubair pada tahun 1968 dimana beliau nanti akan bertemu dengan KH. Inu
(Abah Inu) pengasuh pondok pesantren Darul Tauhid Arjawinangun, Kiai Masduki
yang sekarang menjabat sebagai Syuriah NU Indramayu, KH. Abdul Azis salah satu
pengasuh Pondok Pesantren Gedongan juga KH. Imam putra dari KH. Makrus Lirboyo.
Setelah tiga tahun menuntut ilmu di Sarang Rembang beliau merasa belum cukup
dengan apa yang telah beliau dapati, hingga ahirnya beliau melanjutkan ke
Tanggir Bojonegoro Jawa Timur pada tahun 1971 sampai tahun 1973.
Beliau pulang kerumah pada tahun 1973 dan menikah
dengan Ny. Maemunah yang kemudian dari hasil pernikahannya dikaruniai lima buah
hati, yaitu :
1.
Zubair
2.
Khoeriyah
3.
Al-Bazi
4.
Abdul Basit
5.
Malikhatun Nisa
Setelah KH. Djaruki wafat pada tahun 2004, atas
kesepakatan keluarga besar beliau yang di beri amanat sebagai pengasuh Pondok
Pesantren Miftahul Huda sampai tahun
2006. Hingga sekarang beliau masih aktiv dan menjadi Dewan Penasehat
Pondok Pesantren Miftahul Huda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar